Sejarah mencatat bahwa selama ini perempuan cenderung di-nomor dua-kan terutama dalam bidang politik, terutama keanggotaan di legislatif. Bahkan menurut data yang ada pada era 1950-1955 hanya 3,8 persen saja perempuan di DPR, pada 1955-1960 meningkat menjadi 6,3 persen. Persentase perempuan di parlemen mencapai angka tertinggi pada 1987-1992 dengan 13 persen.
TETAPI setelah itu terus menyusut menjadi 12,5 persen pada tahun 1992-1997, dan turun lagi menjadi 10,8 persen, menjelang Orde Baru runtuh. Di awal era reformasi 1999-2004 jumlah perempuan di parlemen turun lagi hingga 9 persen. Bahkan menurut data dan catatan Sekjen MPR RI ada empat hal yang menjadi catatan penting mengenai minimnya partisipasi politik perempuan di Indonesia ini, yakni:
1. Perempuan yang menjadi anggota MPR terus berkurang dalam tiga Pemilu terakhir, Pemilu 1992 (6,0%), Pemilu 1997 (11,8%) dan Pemilu tahun 1999 menurun menjadi (9,1%).
2. Perempuan yang menjadi anggota DPR persentasenya terus menurun dari 12,0% pada Pemilu 1992 menjadi 11,2% pada Pemilu 1997 dan 8,8% pada Pemilu 1999.
3. Perempuan yang menjadi anggota DPR dipandang dari sisi usia, umurnya relatif lebih muda daripada laki-laki. Persentase anggota DPR perempuan yang berusia dibawah 40 tahun sebesar 22,7% sedangkan laki-laki hanya 9,4%.
4. Pendidikan perempuan anggota DPR relatif lebih rendah daripada laki-laki. Anggota perempuan yang berpendidikan Akademi/PT 84,1% seangkan laki-laki 91,7%.
Jelaslah, bahwa kondisi perempuan saat ini masih timpang. Di sinilah perlunya pemberlakuan kuota. Kuota merupakan salah satu bentuk tindakan khusus sementara yang perlu diambil untuk mempercepat persamaan kesempatan dan manfaat guna mencapai persamaan dan keadilan. Adalah fakta bahwa kebanyakan perempuan saat ini terjerembab dalam kemiskinan dan tidak terpenuhinya hak-hak mereka sebagai manusia. Sementara itu, nilai-nilai sosial budaya dan watak partiarkis negara menghambat dan menutup kesempatan perempuan untuk menjadi pengambil keputusan. Umumnya laki-laki masih sangat sulit menerima kehadiran perempuan di lembaga pengambilan kebijakan. Sebagai akibatnya, jumlah perempuan di lembaga pengambil kebijakan/keputusan sangat kecil, sehingga perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah cenderung mengabaikan kepentingan dan hak-hak perempuan. Kuota menjadi penting agar jumlah perempuan di tingkat perumus kebijakan dan pengambilan keputusan dapat meningkat secara lebih seimbang agar perempuan dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang memuat kepentingan perempuan.
Secara umum ada tiga faktor yang cukup berpengaruh untuk menentukan keterwakilan perempuan dalam bidang politik, yaitu Sistem Pemilu, Peran dan Organisasi Parpol serta penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung yang bersifat wajib dan sukarela. Saat ini, salah satu upaya yang dianggap paling strategis untuk memposisikan perempuan dalam posisi pengambilan keputusan (decision maker) adalah dengan penetapan sistem kuota perempuan di parlemen.
Kini, kuota 30% mencuat bersamaan dengan lahirnya UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dalam Pasal 65 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.
Meski sifat rumusan yang sukarela, dicerminkan lewat kata ‘dapat’ dan tidak adanya sanksi, namun pasal ini berimplikasi adanya jaminan keterwakilan perempuan sebagai kebutuhan nyata meningkatkan representasi perempuan. Kuota 30% untuk perempuan artinya 30% menjadi batas minimal prosentase keterwakilan perempuan dalam lembaga pengambil keputusan.
Dengan adanya UU tersebut, jumlah perempuan di legislative meningkat dari tahun 1999 yang hanya berjumlah 9% menjadi 11,8 persen pada saat ini. Perjuangan politisi perempuan tidak hanya bertujuan terpenuhinya kuota 30% di legislatif, tetapi juga di partai politik (parpol). Saat ini, dari 127 anggota DPD, kouta untuk perempuan baru tercapai 21% , sedangkan untuk DPR dari 550 anggota baru tercapai 11% .
Bahkan, untuk Pemilu 2009 mendatang, telah disahkan UU Pemilu yang baru yang di dalamnya bukan hanya mengatur tentang kuota perempuan di legislative tetapi juga mengatur tentang kuota 30% perempuan di parpol yaitu dalam Pasal 8 yang berbunyi, “Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan”, salah satunya dalam point d berbunyi,” menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”
Maka, untuk mewujudkan hal tersebut, ada beberapa peran yang harus dilakukan oleh parpol yang akan menjadi peserta Pemilu 2009 : pertama, memberikan kesempatan kepada perempuan untuk dapat terjun dalam bidang politik; kedua, meningkatkan kualitas perempuan-perempuan yang ada di parpol, sehingga ketika telah berada di legislatf dapat memperjuangkan aspirasi perempuan dan bukan hanya menjadi pelengkap; ketiga, berani untuk melakukan suatu perubahan yang berarti untuk masyarakat.
Sekarang sudah ada 47 parpol yang mendaftar untuk menjadi peserta Pemilu 2009 dan kita akan melihat parpol apa saja yang lulus verifikasi oleh KPU pada pertengahan April mendatang. Terakhir, selamat berjuang politisi dan aktivis perempuan demi kejayaan Indonesia umumnya dan Kaltim pada khususnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar